Jumat, 29 November 2013
realita kesehatan indonesia
"Dosa" Yang tak Termaafkan..??
By: dr. Yustie Amelia
Dua hari berlalu pasca Demo Ribuan Dokter se Indonesia menolak Kriminalisasi dokter. Serentak rakyat Indonesia terkaget kaget, banyak yg kemudian mencibir dan berbicara nyinyir, Dokter kok Demo, dan kemudian menghujat habis habisan bahkan sampai berkata "saya makin kecewa dengan dokter Indonesia"
Jarang sekali yg kemudian melanjutkan cibirannya dengan menggali, "Kenapa dokter bisa sampai demo?"
Terlepas dari kebiasaan mayoritas bangsa ini yang sering berpikir pendek dan cepat mengambil kesimpulan, harus diakui memang, Substansi dari Dokter turun ke jalan kali ini menjadi terkaburkan dengan emosi dan pemberitaan yang tidak berimbang.
Bersamaan dengan turun ke jalannya dokter,muncul pemberitaan, ada pasien jantung kritis yg tidak terlayani, pasien sakit kritis yang tidak terlayani, pasien jamkesmas yg kembali pulang karena tidak terlayani, atau pasien yg kemudian melahirkan di toilet. Dan sontak semua orang ramai2 menghubungkan hal ini dengan ketidakhadiran dokter di tempat karena turun demo. Padahal jelas, tidak ada satupun pelayanan emergency yg ditinggalkan dokter.
Dengan pahit harus kami sampaikan, bukan hari Rabu kemarin saja banyak pasien jantung kritis yang tidak terlayani. Bukan hari kemarin saja banyak pasien jamkesmas yg harus kecewa setelah melalui antrian sejak subuh tapi belum bisa dilayani sampai menjelang maghrib. Bukan hari kemarin saja pasien kecewa karena harus kembali menunda jadwal operasi yang antriannya bisa berbulan bulan. Bukan hari kemarin saja banyak ibu bersalin yang gagal mendapatkan pertolongan tenaga kesehatan, karena meskipun mulas dan sudah masuk fase persalinan aktif, mereka masih terlambat ke fasilitas kesehatan karena terlalu takut dengan ongkos yang harus mereka siapkan.
Salah dokter kah? Padahal hari Rabu kmarin pelayanan di RS tidak ada bedanya dengan tanggal merah lainnya dimana pelayanan IGD, OK cito, ICU, NICU dan rawat inap tetap berjalan seperti biasa.
Jika untuk mereka yg tak terlayani hari Rabu kemarin, banyak orang dengan mudahnya mengambil kesimpulan bahwa semuanya gara2 dokter demo, lalu bagaimana dengan ratusan bahkan ribuan pasien terlantar di hari hari sebelumnya???
Inilah wajah sebenarnya Sistem Kesehatan di Negeri ini. Wajah penelantaran. Jauh dari kepedulian.
Pelayanan kesehatan negeri ini sudah lama ditelantarkan dengan Kebijakan dan Anggaran setengah hati. Bagaimana tidak? Anggaran kesehatan hanya 1% dari APBN, bahkan ketinggalan jauh dari negara miskin seperti Rwanda yg berani menyiapkan 15% untuk kesehatan rakyatnya.
Bagaimana tidak ditelantarkan? Disaat mobil dan alat2 konsumtif lainnya mendapatkan insentif pengurangan pajak, Alat kesehatan justru dikenai pajak barang mewah, dan pajak obat obatan dinaikkan.
Bagaimana tidak ditelantarkan? Premi peserta Jaminan kesehatan Nasional hanya diberi 19.225 rupiah saja dengan alasan stabilitas fiskal di saat trilyunan uang negara beredar seperti kacang goreng dari rekening koruptor satu ke koruptor yang lain.
Bagaimana tidak ditelantarkan? tenaga profesional kesehatan dibayar murah, dan dipaksa bekerja melayani ratusan pasien dalam sehari dengan fasilitas seadanya.
"Tapi kan kemarin bukan demo ttg itu? Tapi demo solidaritas dan tolak kriminalisasi? Ga usah cari cari alasan or sibuk ngeles lah dokter. Bilang aja dokter takut dipenjara."
Hehe.. Betul kami memang khawatir dipenjara.
Setelah penelantaran yang selama ini terjadi, setelah kerja keras pengabdian untuk terus hadir melayani negeri ini, meskipun yg karenanya kami rela bertemu keluarga hanya sebentar saja setiap pekannya, meskipun yang karenanya kami harus bekerja ekstra time cari tambahan dari klinik satu ke klinik lain, dari RS satu ke RS lain, agar anak anak kami dapat hidup dengan layak. Dan kemudian semua itu berujung dengan mudahnya kami divonis malpraktek untuk sebuah risiko medis yang hingga saat ini dokter paling hebat di dunia pun belum bisa mengatasinya, jelas kami takut terpenjara.
Bukan hanya terpenjara fisik, tapi juga terpenjara dalam ikhtiar profesionalisme kami.
Kami khawatir terpenjara bukan karena kami takut tak bisa makan.
Kami khawatir ketika dengan mudahnya pak jaksa dan pak hakim memenjarakan kami dengan vonis malpraktek tanpa memahami ataupun mengkonsultasikan kasusnya, kami kemudian bekerja dengan mekanisme defensive yg berlebihan, tidak berani menolong pasien sebelum ada tandatangan lengkap keluarga dan pasien, tidak berani menangani pasien sebelum cek lab dan pemeriksaan penunjang ini itu, meskipun hanya untuk kasus demam biasa, yang akibatnya semakin dalam kocek yang harus dirogoh pasien untuk mendapat pelayanan kesehatan. Kami khawatir jika banyak dari kami kemudian memilih untuk tidak menolong pasien gawat daripada gagal berusaha kemudian masuk bui.
Untuk pejabat negeri ini mungkin tidak masalah merogoh kocek lebih dalam, atau kalau tidak mau bersabar, tinggal nyebrang ke negeri tetangga. Tapi untuk sebagian besar rakyat, yg untuk makan saja susah, mungkin mereka memilih untuk tetap diam dalam kesakitannya di rumah atau kemudian pergi k klinik "Tong Seng". Apakah klinik Tongseng dan sejenisnya sanggup menurunkan angka kematian ibu dan bayi dan penderita gizi buruk?
Kami sudah cukup lama bersabar dalam kerja2 pengabdian yang nyaris seperti perbudakan ini. Meskipun banyak yang berkata, "kalau ga suka, ga usah aja jadi dokter, atau ya begini indonesia,kalo ga suka pindah aja ke LN", sejenak ijinkan kami mencoba meminta untuk tetap dapat melayani dalam Kepastian dan perlindungan hukum yang adil. Kami bukan minta kekebalan hukum, tapi Ijinkan kami untuk tetap melayani saudara kami di negeri ini dengan kemampuan tertinggi kami dalam perlindungan hukum yang berkeadilan.
---Ya..tapi mbok ya ga usah pake demo atao mogok. Kesannya gimana gitu, kok dokter sama kaya buruh.--
betul, anggapan demo atau mogok hanya pantas dilakukan buruh, itu sebuah persepsi yang selama ini memenjarakan dokter justru menjadi makhluk yang tidak berani bersikap. Memilih diam untuk semua ketidak adilan yang terjadi di depan mata. Memilih bertahan dalam ketidakadilan meskipun tembok2nya tak kunjung berhasil ditembus.
Dokter demo/mogok, sudah banyak terjadi di negara maju lainnya. Di Kanada, dokter mogok berhasil memaksa pemerintah menaikkan anggaran kesehatannya. Di israel, mogok pelayanan selama 4 bulan, berhasil memaksa pemerintah melakukan perubahan yg fundamental dalam sistem kesehatannya. Bahkan di sebuah jurnal disebutkan berpengaruh positif pada penurunan angka mortalitas.
"Ah..itu kan di luar negeri, tetep aja di indonesia hal ini nggak pantes."
Jika memang demikian, Kami Mohon maaf atas semua pilihan perjuangan yang kami ambil. Bung Karno dan jendral Sudirman pun tak selalu sepakat dalam cara memperjuangkan kemerdekaan negeri ini. Sekaligus kami memohon maaf atas segala keterbatasan kami melayani pasien yang penuh kekurangan dan terus perlu kami perbaiki. Naluri kami adalah melayani. Semoga semuanya tidak menjadi "dosa" yang tak termaafkan.
Tapi peperangan belum usai, karena Sejatinya peperangan ini bukan lah perang dokter vs pasien. Tapi perang rakyat Indonesia melawan ketidakadilan, perjuangan rakyat Indonesia menghadirkan Sehat yang berkeadilan di negeri ini.
Let's Unite, Let's Make A Change.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar